Aku sungguh dihinggapi oleh
ketidaktenangan yang bersarang di relung pikirku. Aku menyimpan kebohongan
yang menimbulkan kegelisahan. Sesuatu
hal yang sangat ku benci jika terjadi pada diriku. Sehingga aku berusaha untuk
tidak melakukan itu pada orang lain. Namun tak pernah terduga, itu ku lakukan.
Aku berbohong, aku berbohong mengenai takdir Tuhan. Mengenai kematian Ayah.
Sesungguhnya Ayah belum meninggal!
Hmmmm... Baik,akan ku coba mengawali
blog ini dengan menceritakan semua dari awal. Saat itu di tahun 2014 entah di
bulan berapa, yang pasti bulan saat menjelang UAN. Pertengakaran antara Ayah
dan Ibu terus berlangsung. Tak ada keharmonisan sedetikpun kujumpai saat itu. Namun
tetap ku bersikap seolah tak mengerti akan apa yang tengah terjadi. Namun
pertengkaran itu terus berlangsung dan semakin panas. Hari demi hari terus
terlewatkan dengan gejolak amarah. Melihat kejadian itu, membuatku menjalani
hari dengan perasaan seperti sebuah adonan, sedih, marah, benci, dan penuh
dengan ketakutan. Semua bercampur aduk tidak karuan. Rasaku sedih merindukan
keharmonisan mereka. Benci melihat mereka terus bersikap seperti anak kecil
yang tidak punya logika mempertontonkan pertengkaran mereka di depan kami, aku
dan adikku. Aku takut,,,, aku takut jika pertengkaran itu terus berlangsung dan
berujung perpisahan. Hari2ku saat itu dipenuhi kekhawatiran. Hari persiapan
menghadapi UAN ku jalani dengan hati yang tidak tenang. Hingga akhirnya. Siapa yang menyangka, hal itu
ku jalani hingga saat ini.
Ketuk palu berlangsung menjelang persiapan
ke Surabaya, Prisma Profesional. Kampusku
saat ini. Yahhhh, Ayah Ibu bercerai. Hancur!!! Aku merasa semua hancur saat
itu. Aku merasa tak memiliki harapan untuk masa depanku lagi. Hari-hariku
semakin kelam. Ku lewati hariku dengan penuh kehampaan. Ku lewati setiap hembus
nafasku dengan sesak di jiwa. Rasanya sulit ku terima perceraian itu. Sangat,
dan sangat sulit. Meskipun kusadari bahwa apa yg terjadi adalah atas kehendak
Tuhan, dan sesungguhnya itu adalah yang terbaik buat kita, karena akan ada
hikmah dibalik setiap ujian dari-Nya. Namun entah, rasanya pemahamanku terhadap
hal itu tersingkirkan oleh kondisi psikis ku yg sangat2 mengalami tekanan.
Bahkan sempat aku kabur dari rumah, menangis, mengamuk seperti seorang yang kesurupan,
sungguh saat itu mataku tak pernah kelihatan normal, terus mengalami
kebengkakan karena nangis tiada henti. Apalagi melihat Ayah dan Ibu terus
mencaci-maki dan saling menjatuhkan satu sama lain. Ya Allah sungguh
pemandangan yang sangat seram dari film horor seseram apapun, dan lebih sadis
dari film pembunuhan sesadis apapun. Mereka saling menghina di depan umum.
Tuhan.... Namun, sebagai anak sulung
saya merasa berkewajiban menangani hal itu. Maka ku lakukan berbagai cara untuk
bisa menyatukan mereka kembali. Namun entah apa yang ada pada benak mereka saat
itu, mereka semakin menjadi-jadi. Disaat Ibu yang meminta untuk kembali, maka Ayah
yg berkeras hati. Disaat Ayah yang meminta untuk kembali, maka Ibu yang
berkeras hati. Hal itu terus terjadi secara berkali-kali. Aku semakin benci. Semakin
menganggap mereka lebih memelihara ego daripada perasaan anak-anaknya. Dan
semakin aku takut akan hadirnya pihak ke tiga dalam pertengkaran mereka. Maka
pada saat itu, semakin jahat aku terhadap mereka. Semakin jahat aku pada
teman-teman lelaki Ibu, dan semakin jahat aku pada teman wanita Ayah. Semakin jahat,
dan semakin buruk aku dimata teman Ayah dan Ibu. Namun aku bersikap seperti itu
karena ketakutanku akan hadirnya pihak ke tiga. Apalagi setelah aku fix untuk
kuliah di Surabaya, semakin besar ketakutanku. ”Siapa yang akan mengawasi
setiap tingkah mereka?? Bagaimana kalau mereka semakin dekat dengan teman2
lawan jenis mereka?” pertanyaan menakutkan itu yang terus menggerogoti ruang
pikirku.
Namun, karena pertimbangan
beberap hal, akhirnya aku memberanikan diri melangkahkan kakiku untuk yang pertama
kalinya ke kampung orang, jauh dari sanak saudara dan hanya ada satu keluarga
di satu kota besar, yaitu tante Ferni beserta suami dan anak-anaknya. Dengan
harapan, semoga langkahku yang berat dan penuh dengan pertimbangan ini, kelak
mampu kembali membawa kebanggan dan kebahagiaan untuk Ayah, Ibu, keluarga, dan
sahabat-sahabatku tercinta.
Enam bulan telah ku habiskan waktuku
di kota perantauanku, dengan penuh kebahagiaan bersama orang-orang baru. Penuh dengan suka,
meskipun terkadang tergores sedikit duka seketika ku dapat kabar buruk dari
Makassar tentang Ayah dan Ibu. Namun cinta dan kasih dari orang sekelilingku
selalu hadir untukku, membuatku sedikit berpaling dari sirisnya kondisi
keluargaku.
Dan akhirnya liburan tahun
barupun datang. Disaat teman2 prepare untuk pulang di kota masing2, saya sibuk
dengan kerjaan dan sibuk mempersiapkan diri untuk liburan di rumah tante, di
Sidoarjo. Namun, tanpa terduga dengan cerita yg lumayan berlika-liku, atas
rencana indah Tuhan yang sungguh sangat tidak terduga, aku akhirnya liburan di
tanah kelahiranku, yang ku kira itu tidak akan terjadi. Mengingat gengsiku
untuk tidak pulang jika tidak membawa kesuksesan dan sebanyak mungkin oleh-oleh
dari tanah perantauan. Namun Tuhan berkata lain, aku berhasil memberi kejutan
terhadap teman-teman dan keluarga akan kedatanganku yang tiba-tiba. Saat itu, karena
keberangkatan yang tak terduga menjelang pergantian tahun, harga tiket pesawat
menjulang tinggi. Yang akhirnya keadaan mengharuskanku untuk naik kapal laut.
Lagi2 Tuhan memberikan hadiah
indah, mempertemukan ku dengan orang2 baik, menyenangkan dan melindungi pada
saat di kapal.
Tiba di pelabuhan Makassar, kulihat Ayah
menunggu akan kedatanganku. Dengan riang, ku lambaikan tanganku ke arahnya,
kemudian dengan langkah besar dan cepat Ayah menghampiriku, ku peluk Ia dengan
sangat erat.
Satu tempat tujuan setelah tiba
di pelabuhan, yaitu ke rumah. Rumahku yang sederhana penuh cinta, tak sabar
rasanya ingin menginjakkan kaki di sana. Sangat kurindukan suasananya, tatanan
perabot di dalamnya. Tak sabar ingin ku rebahkan badanku di kursi panjang dan
spring bad ku tercinta. Namun, seketika ku tersadar bahwa Ibu sudah tidak di
rumah lagi, Ibu telah angkat kaki dari rumah. Ibu ngontrak di salah satu rumah
di daerah Galangan yg terdapat banyak keluarga di sekitarnya, dan sisa Ayah
yang menghuni rumah, dan yang ku tahu pasti Ayah adalah sosok yang tak pernah
peduli akan kebersihan dalam rumah. Kubayangkan betapa sunyi, hampa dan
berantakannya rumah tanpa hadirnya dan sentuhan tangan dari Ibu. Kemudian terselip tambahan ingatan lagi, bahwa begitu Ibu
tahu aku telah tiba. Ia sangat menekankan untuk aku ke rumah kontrakan Ibu. Di tengah
ingatan-ingatan yang menggalaukan itu, Ayah langsung mengajakku untuk ke rumah
duluku yang kini hanya dia yg huni, yang juga seatap sama keluarga, yaitu Ibu
Ayah, adik2 Ayah dan satu2nya sepupu satu kaliku dri Ayah, dan juga katanya, adikku
lebih sering di rumah daripada di kontrakan ibu. Jadi kata Ayah sebaiknya aku
ikut dia aja, daripada ke kontrakan Ibu. Tuhan,, semakin menggalaukan. Rasanya
kerinduan yang tak sabar untuk ku lampiaskan, seolah terendam dengan pemikiran2
akan realita itu dan rasanya ingin ku kembali ke Surabaya saja. Rasanya ingin
di sana saja bersama tante, suami dan anak2nya. Daripada harus memilih antara
Ayah dan Ibu. Jika bisa dilihat, ruang dalam otakku berputar dengan cepat dan
sangat2 cepat lebih cepat dari gasing yang bernouse pada saat itu. Namun
keputusan akhirnya yaitu, ke rumah keluarga yg seatap sama rumahku yang dulu
untuk sekedar memperlihatkan diri dan melepas kerinduan dengan salam dan
bercerita sedikit. Tanpa menengok kondisi rumah di seblah, yang kini hanya
dihuni oleh ayah.
Setelah itu aku diantarkan oleh Ayah
menuju kontrakan Ibu, bersama adikku, Agung. Kemudian ku saksikan pemandangan
indah yang sangat ku rindukan. Ibu menyambutku dengan mengenakan daster yang merupakan seragam
khasnya sebelum tidur, ku pelukkk ibu dengan sangaaaattttttttt eratt. Oh Tuhan
betapa rindunya. Kupandangi Ibu, kupandangi setiap perabot di kontrakan Ibu, yg
merupakan perabot dari rumah yang dulu. Rasanya seperti sebuah mimpi. Perabot
ini bisa berada di sebuah rumah yang merupakan kontrakan dan dengan status Ibu
sebagai seorang janda. Rasanya ingin membuyar air mata ini, namun aku takut jika
tangisku akan membuat Ibu membasahi wajahnya dengan air mata kesedihan di tengah
kebahagiaannya akan kedatanganku. Akhirnya ku coba alihkan suasana hatiku,
dengan menceritakan bahagiaku selama 6 bulan di Surabaya, dan kutanyakan juga kabar
Ibu selama kutinggal merantau.
Singkat cerita, hari terus
berlalu dengan penuh aktivitas, beranjak dari kontrakan Ibu, ke rumah Ayah, ke
pelabuhan tmpat Ibu jualan, dari rumah keluarga yang satu ke keluarga yang
lain, dari teman yang satu ke teman yang lain, sangat bahagia rasanya. Hingga pada
H-3 menjelang kembali ke Surabaya. Ku dengar kabar bahwa Ayah telah menikah.
WOW!!! Rasanya dalam badanku terdapat sebuah bom nuklir dengan batas waktu yang
siap meledak dengan ledakan dahsyat yang mengerikan. Namun kucoba meredakan
amarahku, dengan mencari kebenaran itu. Dengan strategi yang agak
berbelit-belit, akhirnya ku jumpai Ayah di tempat kerjanya di pelabuhan.
Kutanyakan tentang kebenaran kabar itu, serta ku pesan, ku ingatkan, dan ku
tekankan kepadanya akan ketakutanku mengenai pihak ke-3. Namun percakapan kami
tak berujung dengan jelas. Suasana saat itu rasanya sulit ku jelaskan dengan
rangkain kalimat. Karena sungguh sangatttttttt...... ahh entah! Yang paling
teringat jelas adalah bahwa Ibu saat itu dipermalukan di depan pelanggan2nya
dengan dilontarkan banyak kata2 kasar serta dihamburkan minuman2 jualannya dan
disiramkan ke badannya oleh Ayah. Bayangkan betapa gaduhnya hatiku saat itu.
Namun berselang beberapa saat, hatiku jadi agak mendingan berkat tingkah konyol
Ansar, spupuku. Yg saat itu mengantarku ke pelabuhan dan menuju tamarunang
tempat teman Ayah yg sudah seperti orang tuaku sendiri, Ayah Rizal dan Ibu
Farah. Berselang beberapa hari, tak terasa waktu sudah mengharuskanku untuk
kembali ke tanah perantauan. Berat rasanya meninggalkan Ibu di kontrakannya
yang lebih sering sendirian dan hanya sesekali dikunjungi keluarga dan temannya,
serta Adikku pun lebih sering di rumah Ayah. Namun kegiatan yang merupakan
kewajibanku di Surabaya telah menanti.
Tanggal 5, aku kembali ke
Surabaya. Dan kembali ku jalankan rutinitasku sebagai mahasiswi dan staff
Prisma Profesional. Hari demi hari kembali kuhabiskan dengan kesibukan kerja
dan kuliah. Namun kecemasan mengenai pihak ke tiga antara Ayah dan Ibu terus
bersarang di ruang pikirku. Hingga kemudian aku berkeputusan untuk menelpon
perempuan yg ku curigai dekat dengan Ayah, setelah kemarin telah ku telfon
nomor laki2 di kontak Ibu.
Setelah percakapan dengan
perempuan itu usai, agak sedikit lebih tenang perasaanku. Setelah ia mengatakan
bahwa dia hanya sebagai teman, tidak lebih dan tidak akan lebih. Dan telah ku
minta ia untuk menjaga jarak dari Ayah, dan ia pun mengiyakan.
Namun berselang beberapa hari,
aku mendapat kabar dari Ibu. Kabar yang sangat menakjubkan. Kabar yang
mengguncangkan jiwa, emosi, serta sakit hati yang bukan main. Yaitu, Ayah telah
mempunyai pacar dan menggandeng perempuan dengan sepeda motor. Maka segera ku
buktikan lagi kebenaran berita itu. Ku sms dan ku telpon Ayah dan tak mendapat
jawaban, kemudian ku telpon perempuan itu. Ternyata benar!! Perempuan itu
mengakuinya, dia bersama Ayah di atas sepeda motor. Tanpa ku buktikan status
antara mereka, segera ku telpon kembali Ayah. Untuk membuktikan kebenaran itu
dari mulutnya, hingga akhirnya aku hanya mendapat jawaban yang bermaksud
menenangkanku, dan kemudian telponnya dimatikan. Malam itu berkecamuk ruang
pikirku. Aku takut, semakin takut!!!!
Hingga esok harinya, setelah
makan siang. Pada 18 Januari aku dapat kabar, kabar dahsyat sedahsyat
dahsyatnya. AYAH MARRIED!!!! AYAH TELAH MARRIED!!!! Luar binasa!!!!!!!!!!!! Mendengar
kabar itu rasanya tulangku melunglai, jantungku berdetak lebih kencang seperti
genderang mau perang, berdetak dari ujung kaki ke ujung kepala dan rasanya aku
siap melemparkan busur, gas air mata, dan segala senjata tajam disertai
lantunan ayat suci Al- Qur’an untuk mengusir setan-setan yang bersarang di pikirannya.
Haha dilawakin dikit yahh, soalnya sesi ini sangat mengguncang emosi Belbie
....
Aku lemas. Sangat lemas. Benar-
benar gontai ragaku. Aku gagal. Aku gagal menyatukan Ayah dan Ibu kembali.
Telah terkubur perjuanganku untuk membawa Ayah Ibu ke Tanah Suci Mekah,
menyatukan kembali hati yang saling membenci diantara mereka untuk kembali
saling mencintai atas izin Allah demi ke dua buah hatinya. Aku gagal!
Benar dugaanku selama ini, benar
kecurigaanku di hari kemarin yg sempat ku sampaikan ke Ayah, dan kemudian aku nyaris
kena hantaman helm karena kecurigaanku terhadapnya. Ini jawaban atas
kerisauanku di hari kemarin, semua terjadi, sungguh sungguh terjadi!!!
Entah apa yang hendak ku lakukan saat itu, selain hanya mampu beristigfar dalam
hati, dan menangis sejadi-jadinya. Hanya itu yang mampu ku lakukan. Namun
amarah dan kesakitan ini rasanya tak mampu terbendung. Hingga segera ku matikan
telfon dari Ibu untuk menelfon Ayah, dan perempuan itu. Namun ku telpon
berulang kali, tak kudapatkan jawaban. Maka ku sms mereka dengan detak jantung
yang terus berdetak kencang, dengan derai air mata yang terus buyar tiada
henti, ku gerakkan terus jemariku di atas handphone, merangkai kata demi kata.
Dengan kata halus yang menusuk dan bahkan dengan kata tak mengenal sopan santun
lagi.
Setelah beberapa sms yang terkirim,
akupun mendapat balasan dari perempuan itu, yang mengatakan bahwa ia tak terima
dengan perkataanku. Dan tak lama Ayah pun membalas smsku dan menyuruhku
menyediakan uang untuk membayar pengacara atas laporan perempuan itu ke kapolda
mengenai smsku. Di tengah tangisku, spontan aku tertawa terbahak- bahak membaca
sms itu.
“Hanya dengan rangkaian kata, ia
merasa tersakiti? Coba bayangkan atas apa yang telah ia lakukan!! Ia merebut Ayahku.
Ia merebut kebahagiaanku. Ia merebut semangatku. Ia menghapuskan harapanku. Ia
membohongiku. Ia merampas kebahagiaanku dan kebahagiaan adikku. Ia bahkan
berbahagia di atas penderitaan kami. Ia bahkan membohongi Ibuku, katanya ia
punya suami. Ya betul, namun ia menceraikannya dengan jarak yang tak jauh Ayah
menceraikan Ibu. Ia bahkan lupa dengan anak cucunya dan memilih bersama seorang
ayah dengan 2 anak yang tak setuju dengan kehadirannya. Dia pun tahu akan hal
itu. Namun tetap melakukannya demi kebahagiaanya. Mereka menikah diam – diam
tanpa sepengetahuan kami. Dan ayahpun masih saja mempermalukan Ibu dengan
status Ibu yang bukan istrinya lagi. Dan dengan statusnya ia yang telah menikah
diam- diam” kataku dalam hati.
Maka ku persilahkan mereka
melaporkanku. Aku tak takut. Aku membela diri. Aku mampu menjelaskannya kepada
pihak kepolisian. Polisi pun manusia, punya hati. Namun jika hukum berkata
lain. Aku masih punya Allah SWT. yang maha melihat, maha adil, lagi maha
bijaksana. Aku tidak takut.
Aku sadar ini jalan Tuhan, ini
garis hidupku. Namun rasanya berat ku trima perlakuan Ayah yang tega melakukan
ini pada kami. Mengapa ia melakukannya? Tak sayangkah Ia kepada kami? bukankah
Ia yang telah mengajarkan kami untuk bertindak dan bertutur kata yang baik?
Tapi mengapa? Mengapa Ia tega? Tak mengahiraukan kehausan kami akan kasih
sayang dan kebersamaan Ayah Ibu yang kami rindukan. Apakah ia tak menganggp
kami ada? Aku benci Ayah! Aku benci perempuan itu!!
Maka inilah untuk pertama
kalinya, kebohongan terbesar dalam hidupku! Ku sebar berita kematian mengenai
Ayah. Ku sebarkan di seluruh lingkunganku.
Kalau aku tak mempunyai Ayah lagi. Ayah ku mati. Dia telah mati.
MATI!!!!!!!!!
“Mengapa ku lakukan ini??” Ku
tanyakan pada hati kecilku. “Aku sadar ini salah”.
Namun seolah hati kecil dari
lubuk hati terdalam ini bersuara dengan suara yang amat tersakiti.
“Mengapa ayah lebih memilih perempuan itu demi memenuhi nafsunya dibanding masa
depan anak-anaknya? Mengapa Ia tega membohongiku, setelah seumur hidup aku
berusaha menjaga kejujuranku terhadapanya? Mengapa Ia tega menghancurkanku, setelah
Ia mengetahui bahwa aku berjuang untuk Ayah dan Ibu, bahwa mereka alasan dari
semangatku ketika aku merasa terjatuh. Mengapa Ia tega tak menghargai perjuanganku,
setelah mati-matian aku berusaha menyatukan mereka atas kesadaranku sebagai
seorang anak mengenai kebutuhan seorang suami terhadap istri? Mengapa Ayah tak
memikirkan perasaan kami? Dialah yang dititipkan oleh Tuhan untuk menjaga kami,
namun mengapa ia mencampakan kami? Mengapa? “
“Aku benci laki-laki itu. Dia
bukan ayahku! Dia laki-laki tak bertanggung jawab. Dia telah mati dalam
hidupku. Aku sadar perkataanku ini dosa. Namun dia yang membuatku melakukan
ini. Aku benci dia. Aku benci.” Itu kalimat yang terus bersuara di relung
jiwaku, seketika ku ratapi perlakuan Ayah terhadapku.
Namun jika kesunyian malam
menghampiri, rasanya tak percaya jika penuntunku selama ini telah tiada.
Rasanya kurindukan suaranya, kurindukan candaannya, kurindukan hadirnya dan
segala tentangnya yang selama ini memantaskan dirinya dianggap sebagai seorang
ayah. Kurindukan segenap kebersamaan yang pernah terangkai indah bersama Ibu, Adik,
dan Ayah, yang kini telah hilang, musnah seiring berlalunya waktu. Rasanya
perih jiwaku menahan derai air mata ketika menyantap makanan kesukaan Ayah,
yang tak jarang terselip candaan ketika dulu kita menyatapnya bersama, setelah
dihidangkan oleh Ibu.
Hingga saat ini, sakit di jiwa karena
menahan derai air mata terus ku alami. Entah sampai kapan. Kadang aku merasa
rapuh, dan rasanya hendak menyerah akan kehancuran yang ku alami. Aku bahkan
merasa telah kehilangan segenap keluargaku. Ayah dan keluarganya kini
membenciku. Tdk menganggapku lagi. Akibat berita kematian yang ku sebar. Semua
kini telah berubah. Sangat berubahhh. Sungguh perjalanan hidup yang banyak
menguji kesabaran, dan mengundang banyak derai air mata.
Namun aku tersadar. Ini adalah
ujian. Tuhan tidak akan memberi ujian di luar dari batas kemampuan umat-Nya.
Toh, aku punya Ibu. Ibu yang sangat hebat. Aku punya Ibu yang patut ku perjuangkan,
ku bahagiakan. Aku punya utang, untuk membalas kesakitan Ibu, dengan
kebahagiaan atas kesuksesanku. Aku punya tanggung jawab untuk membuktikan
kepada semua orang bahwa aku punya Ibu hebat yang banting tulang menghidupiku
dan adikku, dan berhasil mendidikku. Aku punya banyak keluarga dan segenap
orang yang mencintaiku yang patut untuk kubahagiakan. Sehingga tak ada alasan
untuk aku menyerah. Aku harus bangkit dari keterpurukan. Menaklukkan masalah
sebesar apapun, karena aku punya Allah SWT. yang maha besar. Dan aku siap
mendobrak pintu kesuksesan.
Dan satu hal yang tak
terpungkiri. Dibalik kesakitan yang dalam ini terhadap dia. Ada darah dia yang
mengalir dalam tubuh ini. Dan bahkan dia jugalah yang membuatku hadir di muka
bumi ini. Seperti apapun aku saat ini, dan jadi apapun aku kelak, itu juga
adalah berkat dia. Sehingga sebenci apapun aku terhadapnya, akan tetap ada
goresan kasih sayang yang terselip dibalik ukiran luka yang dibuatnya.
***
Aku merangkai cerita ini, sebagai
alternatif untuk aku menjelaskan kepada orang atas pengetahuan umum ini yang
mereka ketahui secara simpang siur, yang menimbulkan opini-opini yang miring.
Dan yang paling penting, sebagai cara untuk mengungkap kebohonganku. Kebohongan
terbesarku terhadap orang – orang. Karena sangat tidak mungkin untuk hanya
sekedar mengatakan bahwa sesungguhnya Ayah belum meninggal, karena itu membutuhkan penjelasan yang tidak
singkat. Dan sangat tidak mungkin menjelaskan cerita panjang ini ke beberapa
orang, karena itu akan sangat menyita waktu. Selain itu, sebagai jalan untuk
memberi selamat dan sekedar mengingatkan kepada kalian yang masih diberi waktu
oleh Tuhan untuk berkumpul bersama keluarga. Nikmatilah setiap detik
kebersamaan itu. Persembahkanlah yang terbaik ditengah keharmonisan itu. Karena
kita tidak pernah tahu sampai kapan kebersamaan itu akan tetap berlangsung.
Mungkin
akan ada banyak opini-opini baru dari para pembaca setelah membaca semua ini.
Apapun opini itu, silahkan memberi komentar. Dan akan aku jawab.
Terima kasih telah
meluangkan waktu untuk membaca ^_^