Selasa, 10 Februari 2015


Aku sungguh dihinggapi oleh ketidaktenangan yang bersarang di relung pikirku. Aku menyimpan kebohongan yang  menimbulkan kegelisahan. Sesuatu hal yang sangat ku benci jika terjadi pada diriku. Sehingga aku berusaha untuk tidak melakukan itu pada orang lain. Namun tak pernah terduga, itu ku lakukan. Aku berbohong, aku berbohong mengenai takdir Tuhan. Mengenai kematian Ayah. Sesungguhnya Ayah belum meninggal!

Hmmmm... Baik,akan ku coba mengawali blog ini dengan menceritakan semua dari awal. Saat itu di tahun 2014 entah di bulan berapa, yang pasti bulan saat menjelang UAN. Pertengakaran antara Ayah dan Ibu terus berlangsung. Tak ada keharmonisan sedetikpun kujumpai saat itu. Namun tetap ku bersikap seolah tak mengerti akan apa yang tengah terjadi. Namun pertengkaran itu terus berlangsung dan semakin panas. Hari demi hari terus terlewatkan dengan gejolak amarah. Melihat kejadian itu, membuatku menjalani hari dengan perasaan seperti sebuah adonan, sedih, marah, benci, dan penuh dengan ketakutan. Semua bercampur aduk tidak karuan. Rasaku sedih merindukan keharmonisan mereka. Benci melihat mereka terus bersikap seperti anak kecil yang tidak punya logika mempertontonkan pertengkaran mereka di depan kami, aku dan adikku. Aku takut,,,, aku takut jika pertengkaran itu terus berlangsung dan berujung perpisahan. Hari2ku saat itu dipenuhi kekhawatiran. Hari persiapan menghadapi UAN ku jalani dengan hati yang tidak tenang.  Hingga akhirnya. Siapa yang menyangka, hal itu ku jalani hingga saat ini.

Ketuk palu berlangsung menjelang persiapan ke Surabaya,  Prisma Profesional. Kampusku saat ini. Yahhhh, Ayah Ibu bercerai. Hancur!!! Aku merasa semua hancur saat itu. Aku merasa tak memiliki harapan untuk masa depanku lagi. Hari-hariku semakin kelam. Ku lewati hariku dengan penuh kehampaan. Ku lewati setiap hembus nafasku dengan sesak di jiwa. Rasanya sulit ku terima perceraian itu. Sangat, dan sangat sulit. Meskipun kusadari bahwa apa yg terjadi adalah atas kehendak Tuhan, dan sesungguhnya itu adalah yang terbaik buat kita, karena akan ada hikmah dibalik setiap ujian dari-Nya. Namun entah, rasanya pemahamanku terhadap hal itu tersingkirkan oleh kondisi psikis ku yg sangat2 mengalami tekanan. Bahkan sempat aku kabur dari rumah, menangis, mengamuk seperti seorang yang kesurupan, sungguh saat itu mataku tak pernah kelihatan normal, terus mengalami kebengkakan karena nangis tiada henti. Apalagi melihat Ayah dan Ibu terus mencaci-maki dan saling menjatuhkan satu sama lain. Ya Allah sungguh pemandangan yang sangat seram dari film horor seseram apapun, dan lebih sadis dari film pembunuhan sesadis apapun. Mereka saling menghina di depan umum. Tuhan....  Namun, sebagai anak sulung saya merasa berkewajiban menangani hal itu. Maka ku lakukan berbagai cara untuk bisa menyatukan mereka kembali. Namun entah apa yang ada pada benak mereka saat itu, mereka semakin menjadi-jadi. Disaat Ibu yang meminta untuk kembali, maka Ayah yg berkeras hati. Disaat Ayah yang meminta untuk kembali, maka Ibu yang berkeras hati. Hal itu terus terjadi secara berkali-kali. Aku semakin benci. Semakin menganggap mereka lebih memelihara ego daripada perasaan anak-anaknya. Dan semakin aku takut akan hadirnya pihak ke tiga dalam pertengkaran mereka. Maka pada saat itu, semakin jahat aku terhadap mereka. Semakin jahat aku pada teman-teman lelaki Ibu, dan semakin jahat aku pada teman wanita Ayah. Semakin jahat, dan semakin buruk aku dimata teman Ayah dan Ibu. Namun aku bersikap seperti itu karena ketakutanku akan hadirnya pihak ke tiga. Apalagi setelah aku fix untuk kuliah di Surabaya, semakin besar ketakutanku. ”Siapa yang akan mengawasi setiap tingkah mereka?? Bagaimana kalau mereka semakin dekat dengan teman2 lawan jenis mereka?” pertanyaan menakutkan itu yang terus menggerogoti ruang pikirku.

Namun, karena pertimbangan beberap hal, akhirnya aku memberanikan diri melangkahkan kakiku untuk yang pertama kalinya ke kampung orang, jauh dari sanak saudara dan hanya ada satu keluarga di satu kota besar, yaitu tante Ferni beserta suami dan anak-anaknya. Dengan harapan, semoga langkahku yang berat dan penuh dengan pertimbangan ini, kelak mampu kembali membawa kebanggan dan kebahagiaan untuk Ayah, Ibu, keluarga, dan sahabat-sahabatku tercinta.

Enam bulan telah ku habiskan waktuku di kota perantauanku, dengan penuh kebahagiaan  bersama orang-orang baru. Penuh dengan suka, meskipun terkadang tergores sedikit duka seketika ku dapat kabar buruk dari Makassar tentang Ayah dan Ibu. Namun cinta dan kasih dari orang sekelilingku selalu hadir untukku, membuatku sedikit berpaling dari sirisnya kondisi keluargaku.

Dan akhirnya liburan tahun barupun datang. Disaat teman2 prepare untuk pulang di kota masing2, saya sibuk dengan kerjaan dan sibuk mempersiapkan diri untuk liburan di rumah tante, di Sidoarjo. Namun, tanpa terduga dengan cerita yg lumayan berlika-liku, atas rencana indah Tuhan yang sungguh sangat tidak terduga, aku akhirnya liburan di tanah kelahiranku, yang ku kira itu tidak akan terjadi. Mengingat gengsiku untuk tidak pulang jika tidak membawa kesuksesan dan sebanyak mungkin oleh-oleh dari tanah perantauan. Namun Tuhan berkata lain, aku berhasil memberi kejutan terhadap teman-teman dan keluarga akan kedatanganku yang tiba-tiba. Saat itu, karena keberangkatan yang tak terduga menjelang pergantian tahun, harga tiket pesawat menjulang tinggi. Yang akhirnya keadaan mengharuskanku untuk naik kapal laut.

Lagi2 Tuhan memberikan hadiah indah, mempertemukan ku dengan orang2 baik, menyenangkan dan melindungi pada saat di kapal.
 Tiba di pelabuhan Makassar, kulihat Ayah menunggu akan kedatanganku. Dengan riang, ku lambaikan tanganku ke arahnya, kemudian dengan langkah besar dan cepat Ayah menghampiriku, ku peluk Ia dengan sangat erat.

Satu tempat tujuan setelah tiba di pelabuhan, yaitu ke rumah. Rumahku yang sederhana penuh cinta, tak sabar rasanya ingin menginjakkan kaki di sana. Sangat kurindukan suasananya, tatanan perabot di dalamnya. Tak sabar ingin ku rebahkan badanku di kursi panjang dan spring bad ku tercinta. Namun, seketika ku tersadar bahwa Ibu sudah tidak di rumah lagi, Ibu telah angkat kaki dari rumah. Ibu ngontrak di salah satu rumah di daerah Galangan yg terdapat banyak keluarga di sekitarnya, dan sisa Ayah yang menghuni rumah, dan yang ku tahu pasti Ayah adalah sosok yang tak pernah peduli akan kebersihan dalam rumah. Kubayangkan betapa sunyi, hampa dan berantakannya rumah tanpa hadirnya dan sentuhan tangan dari Ibu. Kemudian  terselip tambahan ingatan lagi, bahwa begitu Ibu tahu aku telah tiba. Ia sangat menekankan untuk aku ke rumah kontrakan Ibu. Di tengah ingatan-ingatan yang menggalaukan itu, Ayah langsung mengajakku untuk ke rumah duluku yang kini hanya dia yg huni, yang juga seatap sama keluarga, yaitu Ibu Ayah, adik2 Ayah dan satu2nya sepupu satu kaliku dri Ayah, dan juga katanya, adikku lebih sering di rumah daripada di kontrakan ibu. Jadi kata Ayah sebaiknya aku ikut dia aja, daripada ke kontrakan Ibu. Tuhan,, semakin menggalaukan. Rasanya kerinduan yang tak sabar untuk ku lampiaskan, seolah terendam dengan pemikiran2 akan realita itu dan rasanya ingin ku kembali ke Surabaya saja. Rasanya ingin di sana saja bersama tante, suami dan anak2nya. Daripada harus memilih antara Ayah dan Ibu. Jika bisa dilihat, ruang dalam otakku berputar dengan cepat dan sangat2 cepat lebih cepat dari gasing yang bernouse pada saat itu. Namun keputusan akhirnya yaitu, ke rumah keluarga yg seatap sama rumahku yang dulu untuk sekedar memperlihatkan diri dan melepas kerinduan dengan salam dan bercerita sedikit. Tanpa menengok kondisi rumah di seblah, yang kini hanya dihuni oleh ayah.

Setelah itu aku diantarkan oleh Ayah menuju kontrakan Ibu, bersama adikku, Agung. Kemudian ku saksikan pemandangan indah yang sangat ku rindukan. Ibu menyambutku dengan  mengenakan daster yang merupakan seragam khasnya sebelum tidur, ku pelukkk ibu dengan sangaaaattttttttt eratt. Oh Tuhan betapa rindunya. Kupandangi Ibu, kupandangi setiap perabot di kontrakan Ibu, yg merupakan perabot dari rumah yang dulu. Rasanya seperti sebuah mimpi. Perabot ini bisa berada di sebuah rumah yang merupakan kontrakan dan dengan status Ibu sebagai seorang janda. Rasanya ingin membuyar air mata ini, namun aku takut jika tangisku akan membuat Ibu membasahi wajahnya dengan air mata kesedihan di tengah kebahagiaannya akan kedatanganku. Akhirnya ku coba alihkan suasana hatiku, dengan menceritakan bahagiaku selama 6 bulan di Surabaya, dan kutanyakan juga kabar Ibu selama kutinggal merantau.

Singkat cerita, hari terus berlalu dengan penuh aktivitas, beranjak dari kontrakan Ibu, ke rumah Ayah, ke pelabuhan tmpat Ibu jualan, dari rumah keluarga yang satu ke keluarga yang lain, dari teman yang satu ke teman yang lain, sangat bahagia rasanya. Hingga pada H-3 menjelang kembali ke Surabaya. Ku dengar kabar bahwa Ayah telah menikah. WOW!!! Rasanya dalam badanku terdapat sebuah bom nuklir dengan batas waktu yang siap meledak dengan ledakan dahsyat yang mengerikan. Namun kucoba meredakan amarahku, dengan mencari kebenaran itu. Dengan strategi yang agak berbelit-belit, akhirnya ku jumpai Ayah di tempat kerjanya di pelabuhan. Kutanyakan tentang kebenaran kabar itu, serta ku pesan, ku ingatkan, dan ku tekankan kepadanya akan ketakutanku mengenai pihak ke-3. Namun percakapan kami tak berujung dengan jelas. Suasana saat itu rasanya sulit ku jelaskan dengan rangkain kalimat. Karena sungguh sangatttttttt...... ahh entah! Yang paling teringat jelas adalah bahwa Ibu saat itu dipermalukan di depan pelanggan2nya dengan dilontarkan banyak kata2 kasar serta dihamburkan minuman2 jualannya dan disiramkan ke badannya oleh Ayah. Bayangkan betapa gaduhnya hatiku saat itu. Namun berselang beberapa saat, hatiku jadi agak mendingan berkat tingkah konyol Ansar, spupuku. Yg saat itu mengantarku ke pelabuhan dan menuju tamarunang tempat teman Ayah yg sudah seperti orang tuaku sendiri, Ayah Rizal dan Ibu Farah. Berselang beberapa hari, tak terasa waktu sudah mengharuskanku untuk kembali ke tanah perantauan. Berat rasanya meninggalkan Ibu di kontrakannya yang lebih sering sendirian dan hanya sesekali dikunjungi keluarga dan temannya, serta Adikku pun lebih sering di rumah Ayah. Namun kegiatan yang merupakan kewajibanku di Surabaya telah menanti.

Tanggal 5, aku kembali ke Surabaya. Dan kembali ku jalankan rutinitasku sebagai mahasiswi dan staff Prisma Profesional. Hari demi hari kembali kuhabiskan dengan kesibukan kerja dan kuliah. Namun kecemasan mengenai pihak ke tiga antara Ayah dan Ibu terus bersarang di ruang pikirku. Hingga kemudian aku berkeputusan untuk menelpon perempuan yg ku curigai dekat dengan Ayah, setelah kemarin telah ku telfon nomor laki2 di kontak Ibu.

Setelah percakapan dengan perempuan itu usai, agak sedikit lebih tenang perasaanku. Setelah ia mengatakan bahwa dia hanya sebagai teman, tidak lebih dan tidak akan lebih. Dan telah ku minta ia untuk menjaga jarak dari Ayah, dan ia pun mengiyakan.

Namun berselang beberapa hari, aku mendapat kabar dari Ibu. Kabar yang sangat menakjubkan. Kabar yang mengguncangkan jiwa, emosi, serta sakit hati yang bukan main. Yaitu, Ayah telah mempunyai pacar dan menggandeng perempuan dengan sepeda motor. Maka segera ku buktikan lagi kebenaran berita itu. Ku sms dan ku telpon Ayah dan tak mendapat jawaban, kemudian ku telpon perempuan itu. Ternyata benar!! Perempuan itu mengakuinya, dia bersama Ayah di atas sepeda motor. Tanpa ku buktikan status antara mereka, segera ku telpon kembali Ayah. Untuk membuktikan kebenaran itu dari mulutnya, hingga akhirnya aku hanya mendapat jawaban yang bermaksud menenangkanku, dan kemudian telponnya dimatikan. Malam itu berkecamuk ruang pikirku. Aku takut, semakin takut!!!!

Hingga esok harinya, setelah makan siang. Pada 18 Januari aku dapat kabar, kabar dahsyat sedahsyat dahsyatnya. AYAH MARRIED!!!! AYAH TELAH MARRIED!!!! Luar binasa!!!!!!!!!!!! Mendengar kabar itu rasanya tulangku melunglai, jantungku berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang, berdetak dari ujung kaki ke ujung kepala dan rasanya aku siap melemparkan busur, gas air mata, dan segala senjata tajam disertai lantunan ayat suci Al- Qur’an untuk mengusir setan-setan yang bersarang di pikirannya. Haha dilawakin dikit yahh, soalnya sesi ini sangat mengguncang emosi Belbie ....

Aku lemas. Sangat lemas. Benar- benar gontai ragaku. Aku gagal. Aku gagal menyatukan Ayah dan Ibu kembali. Telah terkubur perjuanganku untuk membawa Ayah Ibu ke Tanah Suci Mekah, menyatukan kembali hati yang saling membenci diantara mereka untuk kembali saling mencintai atas izin Allah demi ke dua buah hatinya. Aku gagal!

Benar dugaanku selama ini, benar kecurigaanku di hari kemarin yg sempat ku sampaikan ke Ayah, dan kemudian aku nyaris kena hantaman helm karena kecurigaanku terhadapnya. Ini jawaban atas kerisauanku di hari kemarin, semua terjadi, sungguh sungguh terjadi!!!
Entah apa yang hendak ku lakukan saat itu, selain hanya mampu beristigfar dalam hati, dan menangis sejadi-jadinya. Hanya itu yang mampu ku lakukan. Namun amarah dan kesakitan ini rasanya tak mampu terbendung. Hingga segera ku matikan telfon dari Ibu untuk menelfon Ayah, dan perempuan itu. Namun ku telpon berulang kali, tak kudapatkan jawaban. Maka ku sms mereka dengan detak jantung yang terus berdetak kencang, dengan derai air mata yang terus buyar tiada henti, ku gerakkan terus jemariku di atas handphone, merangkai kata demi kata. Dengan kata halus yang menusuk dan bahkan dengan kata tak mengenal sopan santun lagi.

Setelah beberapa sms yang terkirim, akupun mendapat balasan dari perempuan itu, yang mengatakan bahwa ia tak terima dengan perkataanku. Dan tak lama Ayah pun membalas smsku dan menyuruhku menyediakan uang untuk membayar pengacara atas laporan perempuan itu ke kapolda mengenai smsku. Di tengah tangisku, spontan aku tertawa terbahak- bahak membaca sms itu.

“Hanya dengan rangkaian kata, ia merasa tersakiti? Coba bayangkan atas apa yang telah ia lakukan!! Ia merebut Ayahku. Ia merebut kebahagiaanku. Ia merebut semangatku. Ia menghapuskan harapanku. Ia membohongiku. Ia merampas kebahagiaanku dan kebahagiaan adikku. Ia bahkan berbahagia di atas penderitaan kami. Ia bahkan membohongi Ibuku, katanya ia punya suami. Ya betul, namun ia menceraikannya dengan jarak yang tak jauh Ayah menceraikan Ibu. Ia bahkan lupa dengan anak cucunya dan memilih bersama seorang ayah dengan 2 anak yang tak setuju dengan kehadirannya. Dia pun tahu akan hal itu. Namun tetap melakukannya demi kebahagiaanya. Mereka menikah diam – diam tanpa sepengetahuan kami. Dan ayahpun masih saja mempermalukan Ibu dengan status Ibu yang bukan istrinya lagi. Dan dengan statusnya ia yang telah menikah diam- diam” kataku dalam hati.

Maka ku persilahkan mereka melaporkanku. Aku tak takut. Aku membela diri. Aku mampu menjelaskannya kepada pihak kepolisian. Polisi pun manusia, punya hati. Namun jika hukum berkata lain. Aku masih punya Allah SWT. yang maha melihat, maha adil, lagi maha bijaksana. Aku tidak takut.

Aku sadar ini jalan Tuhan, ini garis hidupku. Namun rasanya berat ku trima perlakuan Ayah yang tega melakukan ini pada kami. Mengapa ia melakukannya? Tak sayangkah Ia kepada kami? bukankah Ia yang telah mengajarkan kami untuk bertindak dan bertutur kata yang baik? Tapi mengapa? Mengapa Ia tega? Tak mengahiraukan kehausan kami akan kasih sayang dan kebersamaan Ayah Ibu yang kami rindukan. Apakah ia tak menganggp kami ada? Aku benci Ayah! Aku benci perempuan itu!!

Maka inilah untuk pertama kalinya, kebohongan terbesar dalam hidupku! Ku sebar berita kematian mengenai Ayah. Ku sebarkan di seluruh lingkunganku.  Kalau aku tak mempunyai Ayah lagi. Ayah ku mati. Dia telah mati. MATI!!!!!!!!!

“Mengapa ku lakukan ini??” Ku tanyakan pada hati kecilku. “Aku sadar ini salah”.

Namun seolah hati kecil dari lubuk hati terdalam ini bersuara dengan suara yang amat tersakiti.
“Mengapa ayah lebih memilih perempuan itu demi memenuhi nafsunya dibanding masa depan anak-anaknya? Mengapa Ia tega membohongiku, setelah seumur hidup aku berusaha menjaga kejujuranku terhadapanya? Mengapa Ia tega menghancurkanku, setelah Ia mengetahui bahwa aku berjuang untuk Ayah dan Ibu, bahwa mereka alasan dari semangatku ketika aku merasa terjatuh. Mengapa Ia tega tak menghargai perjuanganku, setelah mati-matian aku berusaha menyatukan mereka atas kesadaranku sebagai seorang anak mengenai kebutuhan seorang suami terhadap istri? Mengapa Ayah tak memikirkan perasaan kami? Dialah yang dititipkan oleh Tuhan untuk menjaga kami, namun mengapa ia mencampakan kami? Mengapa? “

“Aku benci laki-laki itu. Dia bukan ayahku! Dia laki-laki tak bertanggung jawab. Dia telah mati dalam hidupku. Aku sadar perkataanku ini dosa. Namun dia yang membuatku melakukan ini. Aku benci dia. Aku benci.” Itu kalimat yang terus bersuara di relung jiwaku, seketika ku ratapi perlakuan Ayah terhadapku.

Namun jika kesunyian malam menghampiri, rasanya tak percaya jika penuntunku selama ini telah tiada. Rasanya kurindukan suaranya, kurindukan candaannya, kurindukan hadirnya dan segala tentangnya yang selama ini memantaskan dirinya dianggap sebagai seorang ayah. Kurindukan segenap kebersamaan yang pernah terangkai indah bersama Ibu, Adik, dan Ayah, yang kini telah hilang, musnah seiring berlalunya waktu. Rasanya perih jiwaku menahan derai air mata ketika menyantap makanan kesukaan Ayah, yang tak jarang terselip candaan ketika dulu kita menyatapnya bersama, setelah dihidangkan oleh Ibu.

Hingga saat ini, sakit di jiwa karena menahan derai air mata terus ku alami. Entah sampai kapan. Kadang aku merasa rapuh, dan rasanya hendak menyerah akan kehancuran yang ku alami. Aku bahkan merasa telah kehilangan segenap keluargaku. Ayah dan keluarganya kini membenciku. Tdk menganggapku lagi. Akibat berita kematian yang ku sebar. Semua kini telah berubah. Sangat berubahhh. Sungguh perjalanan hidup yang banyak menguji kesabaran, dan mengundang banyak derai air mata.

Namun aku tersadar. Ini adalah ujian. Tuhan tidak akan memberi ujian di luar dari batas kemampuan umat-Nya. Toh, aku punya Ibu. Ibu yang sangat hebat. Aku punya Ibu yang patut ku perjuangkan, ku bahagiakan. Aku punya utang, untuk membalas kesakitan Ibu, dengan kebahagiaan atas kesuksesanku. Aku punya tanggung jawab untuk membuktikan kepada semua orang bahwa aku punya Ibu hebat yang banting tulang menghidupiku dan adikku, dan berhasil mendidikku. Aku punya banyak keluarga dan segenap orang yang mencintaiku yang patut untuk kubahagiakan. Sehingga tak ada alasan untuk aku menyerah. Aku harus bangkit dari keterpurukan. Menaklukkan masalah sebesar apapun, karena aku punya Allah SWT. yang maha besar. Dan aku siap mendobrak pintu kesuksesan.

Dan satu hal yang tak terpungkiri. Dibalik kesakitan yang dalam ini terhadap dia. Ada darah dia yang mengalir dalam tubuh ini. Dan bahkan dia jugalah yang membuatku hadir di muka bumi ini. Seperti apapun aku saat ini, dan jadi apapun aku kelak, itu juga adalah berkat dia. Sehingga sebenci apapun aku terhadapnya, akan tetap ada goresan kasih sayang yang terselip dibalik ukiran luka yang dibuatnya.

***

                Aku merangkai cerita ini, sebagai alternatif untuk aku menjelaskan kepada orang atas pengetahuan umum ini yang mereka ketahui secara simpang siur, yang menimbulkan opini-opini yang miring. Dan yang paling penting, sebagai cara untuk mengungkap kebohonganku. Kebohongan terbesarku terhadap orang – orang. Karena sangat tidak mungkin untuk hanya sekedar mengatakan bahwa sesungguhnya Ayah belum meninggal,  karena itu membutuhkan penjelasan yang tidak singkat. Dan sangat tidak mungkin menjelaskan cerita panjang ini ke beberapa orang, karena itu akan sangat menyita waktu. Selain itu, sebagai jalan untuk memberi selamat dan sekedar mengingatkan kepada kalian yang masih diberi waktu oleh Tuhan untuk berkumpul bersama keluarga. Nikmatilah setiap detik kebersamaan itu. Persembahkanlah yang terbaik ditengah keharmonisan itu. Karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kebersamaan itu akan tetap berlangsung.

                Mungkin akan ada banyak opini-opini baru dari para pembaca setelah membaca semua ini. Apapun opini itu, silahkan memberi komentar. Dan akan aku jawab.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca ^_^